Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Karikatur Cinta

Emha Ainun Nadjib
Budayawan
[Kolom, Gatra Nomor 15 Beredar Senin, 20 Februari 2006]

PERGOLAKAN tingkat dunia yang diawali karikatur Jyllands-Posten mungkin
akan berlangsung lebih lama, jauh dan mendalam dibandingkan dengan yang
kita bayangkan, kita analisis dan perhitungkan. Ia bukan sekadar ''lagu
pop'' tentang Islamofobia, ''iman'' demokrasi dan hegemoni tafsir atas
term terorisme.

Mungkin juga lebih dari sekadar asumsi tentang rasa seteru dolar
terhadap euro, desain global penguasaan atas bumi yang sedang tiba pada
''bantingan kartu'' tertentu di samping tahap-tahap scheduling
kartu-kartu lain sejak glasnost dan perestroika yang
''mendemokratiskan'' Uni Sovyet, kemudian Afghanistan, Irak, mendung
berarak sekilas-sekilas di angkasa Suriah dan Iran, kemudian juga
Indonesia: yang pilihan kartunya lain dari yang lain.

Lebih dari sekadar peristiwa politik, ideologi, dan kebudayaan: bisa
jadi skala waktu yang melatarbelakangi karikatur itu adalah peradaban
yang cukup panjang. Denmark bukan Britain yang punya pengalaman
pergaulan dan apresiasi terhadap Islam berabad-abad lamanya. Denmark
adalah salah satu bagian dari wajah gemerlap Skandinavia yang sangat
percaya pada tingkat tinggi kedewasaan demokrasi yang telah dicapainya.
Salah satu ''ayat'' utama demokrasi, yakni kebebasan ekspresi, yang
secara khusus dimanifestasikan oleh kebebasan pers sehari-hari,
dijunjung sedemikian rupa sehingga tidak bisa dibayangkan bahwa agama,
nabi, kitab suci, atau Tuhan akan dihormati melebihi kebebasan ekspresi.

Dan di puncak keindahan bebasnya ekspresi itu, jika seseorang harus
menyusun kalimat, menggubah lagu, menggoreskan lukisan, atau menggambar
karikatur --maka tema primernya, untuk situasi mutakhir dunia yang
sangat direpotkan oleh terorisme, dan itu diidentikkan dengan Islam--
tak ada lain kecuali ungkapan kejengkelan, rasa sebel, mungkin sampai ke
tingkat benci, kepada Islam. "For the sake of freedom of expression,"
kata Jyllands-Posten, "the only thing expressed by the cartoons,
however, was contempt for Muslims."

Ludah
Dalam sebuah peperangan, menantu Muhammad SAW, yakni Ali ibn Abi Thalib
--yang di samping seorang teolog, spiritualis, budayawan, ahli strategi
sosial, pendekar bela diri yang tak terkalahkan dalam olah pedang, juga
seorang ilmuwan yang disepakati oleh semua ulama sebagai pemilik
''puncak kefasihan'' atau nahjul-balaghah-- berhasil mengalahkan
lawannya. Ali berhasil memukul pedang lawannya hingga terlempar,
kemudian menjatuhkannya dan menudingkan ujung pedang itu di leher
lawannya. Ia tinggal menusukkannya, dan itu tidak melanggar HAM atau
disebut pelaku kekerasan, sebagaimana ribuan tentara Belanda dulu mati
di tanah air kita sama sekali bukan karena menjadi korban gerakan
kekerasan bangsa Indonesia.

Namun tiba-tiba lawannya yang tergeletak itu meludahi wajah Ali. Ali
kaget, mengusap lelehan air ludah di wajahnya, terdiam sesaat, kemudian
menarik pedangnya dan beranjak pergi meninggalkan lawan yang dengan satu
gerakan kecil bisa dibunuhnya. Tatkala seseorang bertanya kepadanya
kenapa ia malah pergi dan bukan membunuh musuhnya padahal diludahi
segala, Ali menjawab: "Karena aku diludahi, maka timbul amarah dan rasa
benci di dalam hati saya kepadanya. Karena itu, saya meninggalkannya,
karena betapa marahnya Tuhan kepada saya kalau saya membunuh lawan saya
itu disebabkan oleh amarah dan kebencian."

Tidak perlu ada pameran tentang kearifan, kebesaran jiwa, atau kemurnian
nilai dari peristiwa Ali itu, karena setiap manusia dalam sejarah
masing-masing sudah dibekali Tuhan akal, kecerdasan, kepekaan rohani,
dan pemetaan nilai-nilai. Tetapi mungkin perlu ada transfer fakta bahwa
Ali adalah menantu seorang yang setiap kali dipaksa melakukan
peperangan: ia selalu menyusun strategi yang tujuan utamanya adalah
meminimalkan korban di kedua pihak. Sehingga, pada seluruh peperangan
yang pernah Muhammad SAW alami, keseluruhan korban di bawah 500 orang.

Jika Engkau Memaafkan
Ada seorang teman bernama Abdullah ibn Ubay, yang kerjanya tiap hari
--benar-benar tiap hari: mengejek Muhammad SAW, menyindir-nyindir,
melecehkan, dan menghinanya. Itu berlangsung sepanjang hidup Muhammad
SAW. Atas keadaan ini, bikinlah sayembara: siapa pun yang bisa menemukan
satu kata saja balasan ejekan atau hinaan dari Muhammad SAW, apalagi
kemarahan dan tindakan kekerasan --boleh diambil dari bahan sejarah yang
mana pun, dari buku hadis, sunah Rasul maupun sirah Rasul-- mari kita
urunan untuk memberi hadiah kepada yang bisa menemukannya. Termasuk tak
ada satu kata buruk pun dari mulut Muhammad SAW atas orang-orang kampung
Thaif yang mengusirnya dan melemparinya dengan batu hingga berdarah.

Allah sendiri memberikan acuan moral yang jelas kepada setiap orang yang
dianiaya. Ia secara yuridis berhak melakukan hal yang sama, tak boleh
lebih, kemudian dikunci oleh-Nya dengan keindahan: "Jika engkau
memaafkannya, itu lebih baik di hadapan-Ku."

Muhammad SAW adalah manusia jelata (ia menolak menjadi mulkan-nabiyya
atau nabi yang raja, dan memilih menjadi 'abdan-nabiyya, yakni nabi yang
rakyat jelata) yang amat sengsara selama hidupnya, juga disengsarakan
sesudah matinya, bahkan sampai berabad-abad sesudah itu. Fitnah dan
kesalahanpahaman publik adalah menu utamanya. Panjang rumahnya 4,80 cm,
lebarnya 4,62 cm. Allah tak mengizinkannya sekadar untuk punya satu anak
lelaki, kecuali si Qosim yang diambil oleh-Nya kembali di masa
kanak-kanaknya. Menantunya dibunuh orang. Kedua cucunya juga. Cucu
pertamanya diracun oleh istrinya sendiri, ketahuan olehnya, ia
memaafkannya, kemudian besok paginya diracun lagi dan meninggal. Cucu
yang kedua bukan hanya dibunuh, tapi kepalanya diseret dengan kuda
sejauh ratusan kilometer, sehingga kuburannya di dua tempat.

Muhammad SAW amat suka kambing bakar, khususnya kaki depan sebelah kiri.
Dan kaki itulah yang dipanggang oleh Zaenab, seorang wanita Yahudi,
dilumuri racun dan disuguhkan kepada beliau. Tubuh Muhammad SAW panas
parah karena itu, dirawat di rumah Maimunah, tapi kemudian beliau
meminta pindah opname di rumah Aisyah. Sebab Maimunah masih familinya
sendiri, sehingga orang-orang yang bukan keluarganya tidak bebas
membesuk beliau. Dengan pindah ke rumah Aisyah, maka semua golongan,
parpol, ormas, lain agama dan aliran, punya peluang yang sama untuk
menjenguk beliau.

Mencicipi Kesengsaraannya
Ini orang menjahit pakaiannya sendiri, menambal sepatunya sendiri,
selama hidupnya tidak pernah makan kenyang tiga hari berturut-turut
kecuali selalu ada hari-hari kelaparan. Istrinya tidak pernah bisa
seminggu penuh menyuguhkan makanan secara sempurna kecuali selalu ada
saat-saat panjang yang tak ada apa pun yang bisa disiapkan di meja makan
rumah tangga mereka.

Jika di malam hari salat tahajud terlalu lama di masjid sehingga pulang
terlambat, suami yang kalau bersuara selalu lirih dan kalau berjalan
selalu menundukkan muka ini merasa pekewuh untuk membangunkan istrinya,
sehingga tidur beralaskan kayu di depan pintu rumahnya.

Tentu semua gambaran kemelaratan itu bukanlah melankoli kesengsaraan.
Tapi fitnah yang menimpanya sepanjang sejarah mungkin takkan
tertanggungkan oleh siapa pun lainnya. Salah satu puncak kesengsaraan
Muhammad SAW terkandung di balik salah satu statemennya yang penuh
kedalaman duka: "Al-Islamu mahjubun bil-Muslimin." Islam ditutupi oleh
kaum muslimin. Entah sedikit, entah sejumlah, entah banyak, entah
kebanyakan --perilaku kaum muslimin bukan hanya tidak merepresentasikan
Islam, lebih dari itu bahkan menutupi Islam. Menutupi itu melenyapkan,
meniadakan.

Beribu kali saya terlibat dalam forum massa, umum maupun kaum muslimin,
dan yang terindah adalah tatkala forum itu diberi judul "Memetik
Kesengsaraan Rasulullah".

Beberapa kawan menanyakan, apakah saya tidak tersinggung atau marah atas
karikatur di Denmark itu. Dengan sangat hati-hati saya memberikan
beberapa jawaban: dengan segala keburukan dan kehinaan, saya ini amat
amat amat mencintai Rasulullah Muhammad SAW. Ia manusia yang paling
mencintai Allah dan paling dicintai Allah: bagaimana mungkin ada satu
molekul dari hidup saya yang tak berisi cinta kepadanya. Kadar cinta
saya kepada beliau membawa saya naik mabuk di atas mabuk, melayang lebih
dari segala melayang, meringkuk lebih dari segala meringkuk, bahkan jauh
melebihi kehidupan dan kematian saya.

Segala hinaan, ejekan, lecehan, dan cercaan, sampai tingkat sebrutal apa
pun, tak akan mengurangi kadar cinta saya, 1 cc-pun. Cinta kepada
Rasulullah memenuhi jiwa dan hidup saya, sehingga cinta saya kepada
keluarga, khalayak, bangsa, negara, dan umat manusia: menjadi lebih
indah, bercahaya, dan penuh kedamaian, di kandungan cinta kepada beliau.
Sedahsyat-dahsyat penghinaan tak bisa menandingi kedahsyatan dan
mutlaknya kematian, padahal cinta saya kepada beliau mengatasi hidup dan
mati. Dan kalau Rasulullah tidak pernah marah, bahkan bersikap lembut
dan selalu memaafkan orang yang menghinanya: bagaimana mungkin orang
yang mencintai Rasulullah berani melakukan yang bukan kelembutan dan
permaafan?

Juga titipan Allah melalui Muhammad SAW yang bernama Islam sangat
memberi saya kecerdasan, kecerahan, kekuatan, dan ketenteraman --yang
tak akan bisa seserpihkan dikurangi kadarnya oleh segala jenis
penghinaan. Islam sangat memberi perlindungan dan sandaran. Islam
sendiri tidak memerlukan saya, saya yang membutuhkan Islam. Bahkan,
kalau boleh berterus terang, segala macam cercaan itu tidak berakibat
apa-apa selain menambah senyuman saya dalam Islam dan memupuk cinta saya
kepada Muhammad SAW. Penghinaan itu bahkan membantu dan menambahi
tingkat tinggi maqam surga beliau.

Adapun tentang teman-teman Denmark itu, apakah engkau tidak mempelajari
sejarah mereka, alam pikiran mereka, pengalaman peradaban mereka:
sehingga engkau kaget oleh jenis ekspresi mereka? Atas dasar kenyataan
ke-Denmark-an yang mana dan dimensi apa pada realitas alam pandang
mereka sehingga engkau mengharapkan sesuatu yang bukan seperti karikatur
itu? Kenapa engkau mengharapkan ayam mengembik atau mengharuskan kambing
berkokok?

Pun tentang kaum muslimin yang berang, marah, naik pitam, mengamuk:
kenapa engkau heran atau mengharapkan mereka tak berbuat seperti itu?
Apa engkau kira mereka adalah Ali bin Abi Thalib? Berdasarkan tradisi
pendidikan Islam yang mana, kebudayaan keagamaan kaum muslimin yang
mana, kedewasaan, kearifan, dan kematangan kemanusiaan yang mana
--sehingga engkau memprihatinkan amuck mereka?

Saya tidak akan meludahi mukamu, sebab aku tidak yakin engkau akan tidak
marah juga seperti itu, bahkan dendammu mungkin akan tak pernah lenyap
sepanjang hidupmu. Saya juga tak akan pernah membuat karikatur
menggambar wajahmu seperti kera atau tokek, karena yang amat tersinggung
pasti bukan hanya engkau, melainkan juga keluargamu, familimu, orang
segolonganmu, masyarakatmu, mungkin juga bangsa dan negaramu. Kalau aku
meludahi wajahmu karena demikianlah kebebasan ekspresiku, maka engkau
pun menempeleng kepalaku sebab demikian jugalah kebebasan ekspresimu.

Kita gambar bersama-sama saja karikatur-karikatur cinta.

Emha Ainun Nadjib
Budayawan
[Kolom, Gatra Nomor 15 Beredar Senin, 20 Februari 2006]

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar